Jumat, 16 November 2018

Keluarga Dalam Pesantren


OLEH : Trifidiya Agistin 
Pagi ini, mentari terlihat begitu cerah, membuat siapapun yang melihatnya akan menunduk karena silaunya. Sinarnya masuk secara diam-diam, lewat celah-celah jendela asrama putri yang terbuat dari kaca seperti seorang pencuri. Butiran embun pada dedaunan semakin menghidupkan suasana pesantren modern yang jumlah santrinya tidak lebih banyak dari telur-telur yang sedang di erami oleh induknya, mungkin karena pesantren ini berada di pelosok makanya tidak banyak orang yang tau keberadaanya. Al-Ikhlash,, begitulah namanya. Pesantren yang berdiri pada tahun 2007 dan di asuh oleh Romo Kyai Alfin Sunhaji itu, berada di kota Gresik, terletak di daerah pesisir utara. Sebagian masyarakat menyebutnya pesantren Evergreen, karena hampir semua bangunan di pesantren ini berwarna hijau. Dan aku adalah salah satu santriwati yang berdomisili di pesantren ini, aku berasal dari Tuban, entah kenapa kedua orang tuaku membuangku ke tempat yang menurutku sangat membosankan ini. Aku baru 3 tahun tinggal di pesantren ini, sekarang tepat pada tahun 2018 aku duduk di bangku Sekolah Menengah Kejuruan, aku mengambil jurusan akuntansi, namun pada akhirnya aku menyesal, karena akuntansi tidak semudah yang aku bayangkan.
Di pesantren ini aku memiliki keluarga kedua yang sangat berarti setelah ayah dan ibu. Sembilan Bintang, yah.. aku menyebutnya begitu, karena kami berjumlah sembilan anak. Yang pertama, Fitri, gadis bermata sipit dan berkaca mata ini adalah bintang tertua diantara kami. Karakternya yang sangat dewasa cocok sekali dengan usianya sekarang. Dia berasal dari Tuban, tepat satu desa denganku,  mungkin bisa dikatakan tetangga, karena rumah kami hanya berjarak 5 meter saja. Sebenarnya, dari kecil aku sudah mengenalnya, bahkan kami kerap kali satu kelas ketika menduduki Taman Kanak-Kanak dan Sekolah Dasar. Namun Sekolah Menengah Pertama kami berpisah, sampai pada akhirnya, kita bersama lagi ketika masuk di Sekolah Menengah Kejuruan, dan lebih akrab lagi, mungkin karena kami berada dalam satu pesantren.. Kedua adalah diriku sendiri,, Fida, nama lengkapku Fidiya Agistin.. tapi teman-temanku lebih akrab memanggilku Fida. Menurut penilaian teman-temanku, aku adalah tipe anak yang humoris.. 99% benar sekali. Karena bagiku, jika sehari saja aku tidak mengucapkan sesuatu atau bertingkah laku konyol seperti pelawak, tepat pada saat itu juga aku akan kehilangan separuh jiwaku. Mereka juga bilang, bahwa aku adalah gadis puitis dengan seribu imajinasi, nah.. itulah pendapat mereka tentang diriku, untuk tanggapanku.. aku biasa aja, selama itu membuat temanku bahagia, aku pun ikut bahagia.
Pukul 09.30, tepat waktunya istirahat.. Aku dan Fitri duduk bersimpuh diatas gubuk kecil yang terbuat dari kayu jati yang mungkin hanya memuat 5 atau 6 orang saja, atau dalam bahasa gaulnya adalah gazebo,, yang berada di depan kantor SMK Al-Ikhlash.. Dari kejauhan, sorot mataku fokus pada kedua gadis yang juga termasuk bintangku ..mereka berjalan menuju ke arahku, bergandengan tangan dengan tersenyum lebar, seolah mereka adalah Laila dan Majnun yang tengah berbahagia karena hubungan mereka telah di restui.. “Assalammu’alaikum” satu dari kedua gadis itu, bertubuh pendek dan agak terlalu gemuk dengan lesung pipit di sisi pipi kananya, menyapa diriku dan Fitri dengan ucapan salam yang menunjukkan bahwa dia adalah seorang santri.. Puput, itulah namanya.. dia berasal dari kota Surabaya,, dia adalah tipe gadis yang sensitif,, jika ada yang mengganggunya saat moodnya lagi tidak baik,, maka dia akan mengeluarkan tanduknya seperti seekor singa yang di bangunkan dalam tidurnya.. “Wa’alaikum salam”.. Fitri membalas salamnya,, sementara diriku diam seribu bahasa,, tatapanku kosong. Dalam otakku muncul beribu pertanyaan, yang entah kemana aku akan mencari jawaban dari pertanyaan tersebut,, haruskah aku bilang sejujurnya kepada ayah dan ibu ? ..Ah tidak, itu akan membuat mereka kecewa denganku.. Ataukah lebih baik aku bercerita kepada bintang-bintangku tentang keadaanku sekarang,, siapa tau mereka bisa membantuku.. Huh, tidak mungkin,, apa kata mereka, jika aku bercerita tentang kedaanku ,,mereka akan menganggapku sebagai santriwati paling boros di pesantren ini.. Oh Tuhan... apa yang harus kulakukan sekarang ?,, hati dan otakku tengah bergelut secara diam-diam.
Gadis yang masih menyatukan tangannya dengan tangan puput,, bertubuh agak tinggi kurus,, berkulit coklat sawo matang dengan kumis tipis yang membuatnya lebih terlihat manis menyentikkan jarinya di depanku. “woe,, ngelamun mulu.. Kesambet baru tau rasa kamu.”..Sontak aku mengedipkan kedua kelopak mataku..”Hah,, kenapa.. kenapa ?”..entah, ada apa dengan diriku sekarang,, aku bertingkah seperti anak bodoh dengan sejuta mimpi yang mustahil akan menjadi nyata.. “Tau tuh,, ada apa dengan dirimu Fida ?,, dari tadi kita duduk berdua, tidak ada sepatah katapun yang keluar dari mulutmu”.. Fitri menatapku dengan mengernyitkan dahinya seolah aku bukanlah Fida yang dia kenal.. “Tidak, aku tidak apa-apa kok,, aku cuma lagi rindu nih ama ayah dan ibu”.. Itulah salah satu alasan yang kubuat untuk menyembunyikan penyakit kanker (Kantong Kering) yang sekarang sedang menyerangku.. “Kanker ya ?”.. pertanyaan Puput membuatku Gemetar,, aku menatapnya dengan memicingkan mata, apa ini,, kenapa Puput menanyakan hal itu kepadaku, apakah mimik wajahku terlihat haus uang?.. Tidak,, mereka tidak boleh tau kalau sekarang aku terjangkit penyakit kanker, atau aku akan di tertawakan mereka sebagai gadis paling boros sepanjang masa.. Oh.. Sungguh,, penyakit menyeramkan dan sangat ganas yang dialami oleh sebagian santri adalah kanker (Kantong Kering). “Hah!, apa yang kamu katakan?,, baru juga dua minggu yang lalu ayah mentransfer uang, tidak mungkin aku menghabiskan uang segitu dalam dua minggu “.. Yah,, seketika aku menentang pertanyaan puput, meskipun apa yang dikatakan puput benar adanya.
“Hey.. apa kalian tidak mendengar bel berbunyi?, Ibu guru sudah menunggu, ayo masuk kelas “..Seorang gadis yang memiliki bulu mata yang lentik dengan tinggi badan 160 cm,, berkulit kuning kunyit, sedang berdiri di balkon lantai dua kelas XII Akuntansi, memanggil kami berempat untuk segera masuk kelas.. Gadis yang pernah mengikuti pelatihan paskibra bahkan menjadi salah satu pasukan dari barisan 45 satu tahun yang lalu ini bernama Indra, mungkin sekilas seperti nama anak seorang laki-laki,, namun pada kenyataanya dia terlahir sebagai seorang gadis.. Dia adalah bintang termuda di antara sembilan bintangku,, asalnya juga dari Tuban, tapi beda desa denganku, meskipun dia bintang termuda,, tapi dialah yang paling mahir soal cinta.. Serentak, kami melangkahkan kaki menuju kelas untuk mengikuti pelajaran bahasa Inggris. Semenit.. Dua menit berlalu,, jam dinding berbentuk bundar terletak tepat di atas papan tulis berwarna putih menunjukkan pukul 12.30, “Kring.. waktu pelajaran sudah berakhir..” bel berbunyi, seakan memerintahkan siswa-siswi SMK Al-Ikhlash untuk segera pulang. Setelah ibu guru menutup jam pelajaran,, aku, Fitri, Puput, Sindy dan Indra merapikan buku, beranjak dari tempat duduk dan segera keluar dari kelas. Siang ini memang sangat panas sekali, seolah mentari sedang marah dengan bumi karena terlihat kumuh akibat tangan-tangan jahil manusia yang membuang sampah di laut dengan wajah tak berdosa tanpa berfikir kedepannya, sehingga menyebabkan sampah-sampah menumpuk,, membuat bingkai di tepi laut. Suara deru dan bel motor siswa-siswi mbajak beriringan seperti pawai. Kami berjalan lamban tak berdaya menuruni tangga demi tangga,, seolah tenaga kami terkuras habis oleh terik matahari yang menyengat, dahaga dan lapar semakin membuat kami ingin cepat sampai di pesantren dan langsung menyantap masakan mbok sri, tukang masak di pesantren kami. “Hy Guys..!” suara itu terdengar jelas di telinga kami,  serentak kami menoleh kebelakang, sepasang mata kami mengarah kepada seorang anak perempuan berbadan gendut menggemaskan, berkulit putih dan berkaca mata persegi dengan gagang yang berwarna ungu,, menyangkluk tas jansport di punggung, berlari ke arah kami .”Hy Mia..” Sindy memulai percakapan dengan Mia.. Yah, namanya Mia berasal dari Gresik sendiri tepat satu desa dengan pesantren ini. Entah kenapa dia lebih memilih tinggal di pesantren ketimbang mbajak. “Hey, sumpah.. Perutku lapar sekali nih,, dari tadi cacing dalam perutku terus saja menghentakkan kakinya”.. Sejak kapan cacing memiliki kaki? Batinku.. Begitulah Mia, dia selalu punya ide untuk mengucapkan sesuatu atau bertingkah konyol yang dapat membuat kami tersenyum. “iya nih, pulang yuk!”. Sahut puput yang sedari tadi diam seolah menahan rasa lapar berkepanjangan.. “Eh tunggu,,!” seorang gadis yang memiliki lesung pipit di kedua sudut bibirnya keluar dari kantor membawa beberapa buku di tangan kirinya. “Dari mana kamu Rif ?”. tanya Fitri sambil membetulkan kaca matanya yang kurang nyaman.. “Habis ngumpulin tugas teman-teman tuh”.. Namanya Rifa, gadis yang bercita-cita menjadi seorang arsitek itu berasal dari Menganti, Gresik.. Dia juga salah satu dari sembilan bintangku.***
Aroma masakan mbok sri udah masuk secara diam-diam lewat lubang hidung,, menarik perhatian setiap santriwati. Kali ini mbok sri masak lodeh terong dan tempe goreng.. untuk santri, makanan sesederhana itu lebih enak dari sepotong ayam goreng, “Yuk makan..” Rifa berdiri di depan kami yang tengah duduk di depan koperasi pesantren dengan membawa talam besar yang berisi nasi, yang terlihat masih panas dan lodeh terong juga tempe goreng..  “Sebentar, Risma dan Ifa belum datang”, Fitri mengelaknya,, kami tidak akan memulai makan sebelum Sembilan Bintang terkumpul semua. Risma dan Ifa, mereka adalah salah satu bintangku.. dua detik setelah Fitri membuka mulut, Si kembar beda ayah dan beda ibu itu datang dengan membawa laptop masing-masing.. Wajar sekali jika kami menyebutnya kembar karena hampir seluruh santri di pesantren ini bilang, kalo wajah mereka mirip seperti saudara kandung. “Dari mana saja kalian, kami sudah lama menunggu kalian” sergah Puput.. “Maaf yah, kami baru saja selesai wifian..” Risma menjawab pertanyaan Puput dengan santai.. segera kami makan,, dan hanya dalam waktu tiga menit saja, kami menghabiskan nasi dalam talam besar itu, dan tak ada yang tersisa sebutirpun.. seolah kami adalah seekor serigala yang kelaparan.. Selesai makan, kami kembali ke kamar masing-masing untuk melakukan sholat dhuhur,, setelah itu, seluruh santriwati melakukan kegiatan untuk mengisi waktu luang mereka.. Ada yang istirahat, bersiap-siap untuk mengaji Diniyah nanti sore, Petan (kegiatan mencari kutu rambut), main laptop, nyuci, dan kegiatan-kegiatan lain. Dan diriku, lagi-lagi diam seribu bahasa duduk termenung di depan lemari pakaianku,, aku belum menemukan jalan keluar untuk keadaanku sekarang,, Oh Tuhan.. Apa yang harus kulakukan, haruskah aku meminjam uang pada salah satu bintangku?. Tidak, itu sangat memalukan bagiku,, selama ini aku tidak pernah dalam posisi seperti ini..
Ada apa dengan kepalaku? Seolah ada sebongkah batu besar yang menghantam kepalaku,, tiba-tiba saja kepalaku terasa pusing sekali dan penglihatanku menjadi buram,, ada apa ini.. Aku berusaha berjalan ke kolah untuk mengambil air wudhu dan “Bruk..” aku terjatuh tepat di depan pintu kolah,, dan seketika aku tak sadarkan diri selam dua jam.. 120 menit berlalu, aku mencium aroma terapi freshcare. Ku buka kedua mataku secara perlahan, penglihatanku agak terlalu buram.. Sorot mataku fokus pada jam dinding yang menunjukkan pukul 17.15,, aku terbaring lemas diatas karpet yang bergambar huruf abjad, dan dikelilingi sembilan bintangku. Bola mataku menatap mereka satu per satu. “Ada apa denganmu Fid ? kenapa kamu bisa terjatuh dan tak sadarkan diri seperti ini?” sindy menatapku heran, aku diam sejenak. “Entah, tadi tiba-tiba kepalaku pusing,, penglihatanku menjadi buram dan akhirnya aku terjatuh, setelah itu aku tak tau apa yang terjadi denganku..” bibirku bergetar menceritakan kejadian itu. “Kamu tampak memikirkan sesuatu,, dan menyembunyikan sesuatu itu dari kami.” Celoteh Fitri, aku semakin gemetar mendengarnya, seketika mendung datang melanda hatiku, sepasang mataku berkaca-kaca, aku hanya diam, aku tak tau apa yang harus ku katakan. “Uang sakumu habis ya ?”, Rifa menyenggol Puput yang tengah bertanya padaku tanpa memikirkan perasaanku, sontak seketika itu, hujan deras yang selama ini ku tahan akhirnya mengalir, membasahi pipiku,, dan lagi, aku hanya terdiam tanpa sepatah katapun. Sejenak suasana menjadi hening, “maaf Fid, aku lancang,, tadinya aku bermaksud membelikanmu obat , lalu aku berniat untuk mengambil uang di dompetmu,, dan akhirnya aku membuka dompetmu”. Wajah Fitri memerah, seakan ia menahan air matanya keluar. Hujan semakin deras, diriku membisu kehabisan kata-kata. “Jadi itu, hal yang membuatmu bertingkah seolah tak seperti Fida yang ku kenal ?, apa ini Fid? Kenapa kamu sembunyikan ini dari bintang-bintangmu?” suara Puput membuat gemuruh petir dan hujan deras semakin menjadi-jadi bergelut dalam hatiku. “Ma.. maafkan aku bintang-bintangku, aku.. aku tak tau apa yang harus ku lakukan,, aku malu dengan keadaanku, mulutku tak sanggup bercerita pada kalian,, aku takut kalian akan menertawakanku dan menganggapku sebagai santriwati paling boros di pesantren ini.” Tuturku dengan isak tangis, butiran air mata lagi-lagi mengalir di pipiku. “Apa yang kamu katakan? Kita adalah sembilan bintang,, jika ada satu bintang yang kehilangan cahayanya, maka delapan bintang yang lainnya akan berusaha mengumpulkan cahaya untuk membuat satu bintang itu bercahaya lagi seperti semula.” Ucapan Fitri membuatku merasa seolah aku adalah gadis terbodoh yang tak pernah berfikir sedalam lautan. Fitri menopang tangan dan punggungku untuk membantuku bangun dan duduk bersandar di depan lemari pakaianku. “Maafkan aku. Sungguh, demi Tuhan.. aku adalah santriwati paling hina di pesantren ini,, aku tak pernah berfikir bahwa aku masih memiliki sembilan bintang yang selalu membuatku terang dengan cahayanya.” Aku menggenggam erat tangan Fitri dan menatapnya dengan isak tangis, seketika Fitri memelukku, mengeluarkan butiran air mata dan mengucapkan sesuatu tepat di telingaku. “Berjanjilah pada kami, bahwa kamu akan tetap menjadi bintang yang selalu bercahaya seperti yang kami kenal.” Aku mengangguk dan masih dengan isak tangis. Sontak sembilan bintangku memelukku dengan tersenyum.
Pada akhirnya aku menyadari, bahwa aku adalah salah satu santriwati yang terlalu bodoh,, tidak pernah peka akan keberadaan sembilan bintang yang kerap kali memberiku cahaya dalam gelapnya kehidupan pesantren,, aku terlalu takut pada hal-hal yang belum pasti terjadi, akibatnya aku terjerumus kedalam jurang yang telah ku bangun dengan tanganku sendiri. Dan untuk para santri, “Kalian tidak akan pernah bisa merasakan indahnya kenangan bersama keluarga dalam pesantren, selama kalian masih berselimut ketakutan.”

14 komentar: